
Sungai Musi merupakan sungai yang membelah kota Palembang di provinsi Sumatera Selatan.
Dengan panjang sekitar 750 km, sungai terpanjang di Pulau Sumatera ini menjadi kebanggaan para Wong Kito Galo, julukan untuk warga Palembang. Sejak jaman Kerajaan Sriwijaya, Sungai Musi terkenal dengan sebagai serana utama trasportasi kerajaan dan masyarakat.
Hal ini berlanjut hingga masa pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam. Bahkan hingga kini Sungai Musi masih menjadi alternatif jalur transportasi ke daerah tertentu.
Sumber mata air utama Sungai Musi berasal dari Kepahiang-Bengkulu dan bermuara di sembilan anak sungai besar yang disebut Batanghari Sembilan. Kesembilan sungai tersebut yaitu Sungai Komering, Rawas, Batanghari, Leko, Lakitan, Kelingi, Lematang, Semangus, dan Ogan.
Baca Juga:
Sungai Musi membelah Kota Palembang menjadi dua kawasan, yaitu Seberang Ilir di bagian utara dan Seberang Ulu di bagian selatan. Karena itu kedua daerah tersebut membutuhkan penghubung, yaitu berupa jembatan. Pada awalnya jembatan ini dinamakan Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama itu sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama tersebut.
Bung Karno dengan sungguh-sungguh berupaya memperjuangkan keinginan warga Palembang untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi. Seiring dinamika politik pada tahun 1966, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Setelah itu kita lebih mengenal jembatan ini dengan nama Ampera.
Mulai dibangun pada tahun 1962 dan selesai di tahun 1965, struktur Jembatan Ampera ini memiliki panjang 1.117 m (dengan bagian tengah sepanjang 71.90 m, persis di atas Sungai Musi) yang menjadikannya jembatan terpanjang di Asia Tenggara pada saat itu! Lebar jembatan 22 m, tinggi 11,5 m dari permukaan air, tinggi menara 63 m di atas permukaan tanah, jarak antara menara 75 m, dan berat 944 ton.
Biaya yang dihabiskan pada awal pembangunan adalah 4.500.000 dolar AS (kurs saat itu 1 dolar AS = Rp200,00). Dana tersebut didapat dari hasil pampasan jaman Jepang setelah Jepang mundur dari Indonesia pada Perang Dunia II. Namun arsitek yang membuat rancangan jembatan ini ternyata adalah seorang warga negara Jepang juga.
Semula, bagian tengah jembatan ini diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan angkatnya sekitar 10 meter per menit dan total waktu diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan ini selama 30 menit.
Namun sejak tahun 1970, aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak lagi bisa kita lihat. Alasannya? Karena waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap terlalu lama dan mengganggu arus lalu lintas di atasnya.
Kemudian pada tahun 1990, kedua bandul 500 ton di 2 menara jembatan ini diturunkan untuk menghindari jatuhnya kedua beban pemberat ini.
Satu yang tidak berubah, Jembatan Ampera tetap menjadi Land Mark kota Palembang hingga saat ini.
Artikel Terkait:
Video tentang Sejarah Jembatan Ampera di Sungai Musi, Ikon Kota Palembang