
Pada suatu ketika dikisahkan pintu gerbang Kerajaan Majapahit mengalami kerusakan karena usianya yang sudah tua dan terkena gempa bumi. Lalu Sang Raja bermaksud memperbaiki pintu gerbang itu agar kuat dan tampak mewah seperti awal didirikan pada masa Raja Raden Wijaya.
Berbagai tukang dan empu dikumpulkan untuk memperbaiki gerbang itu. Namun, setiap selesai mengerjakan, gerbang tersebut selalu runtuh berantakan. Kejadian ini terulang selama tiga kali.
Suatu hari, salah satu empu pembuat gerbang itu bersemedi meminta petunjuk. Ia seorang empu yang sakti dari daerah Madura. Setelah beberapa hari bersemedi, ia mendapat petunjuk bahwa yang bisa menegakkan gerbang itu adalah cucunya sendiri, Joko Tole, yang berada di daerah Madura.
Kemudian, sang empu meminta izin kepada raja untuk memanggil Joko Tole ke Majapahit. Akhirnya, Joko Tole, pemuda bertubuh tegap dan tampan, datang menghadap raja.
“Hai Joko Tole, benarkah kamu sanggup menegakkan pintu gerbang Majapahit kembali seperti semula?” tanya raja. “Hamba akan usahakan semampu hamba, Baginda,” jawab Joko Tole.
“Tapi, satu hal yang harus kau ingat, jika kau tidak bisa menegakkan pintu gerbang itu, kau dan kakekmu, beserta para empu yang terlibat pembangunan pintu gerbang akan mendapat hukuman berat,” tegas raja. “Baik, Baginda,” ujar Joko Tole menyanggupi.
“Tapi, jika kau berhasil menegakkan pintu gerbang Majapahit, kau akan mendapat hadiah dariku,” kata raja kembali menerangkan.
Saat itu juga, Joko Tole segera membantu para empu menegakkan kembali pintu gerbang kerajaan. Joko Tole mengawali pekerjaannya dengan menganjurkan agar para empu membuat fondasi pintu gerbang diganti dengan batu-batu yang lebih besar dan kuat dari sebelumnya. Joko Tole memang tampak ahli dalam membuat gerbang itu.
Joko Tole kemudian membuat perekat yang unik untuk menyusun batu-batu di atas fondasi baru. Dengan dibantu oleh para empu, Joko Tole mengerjakan pintu gerbang itu siang dan malam.
Konon, menurut legenda dikisahkan bahwa Joko Tole dibakar di atas sebuah belanga raksasa. Lalu, dari pusar Joko Tole keluar cairan perekat (semacam semen). Dikisahkan pula bahwa keringat Joko Tole juga ampuh dijadikan perekat untuk membangun pintu gerbang Kerajaan Majapahit.
Dengan kerja keras siang dan malam, akhirnya usaha Joko Tole dibantu para empu tidaklah sia-sia. Mereka berhasil membangun dan menegakkan pintu gerbang Kerajaan Majapahit. Hal ini tentu saja membuat raja sangat bahagia.
Joko Tole pun diangkat menjadi salah seorang perwira utama di Kerajaan Majapahit. Ia tidak hanya ahli di bidang bangunan, tapi juga dalam bidang keprajuritan. Bahkan, ia memiliki siasat perang yang sangat tangguh untuk melakukan penyerangan ataupun pertahanan.
Karenanya, ia selalu diminta bantuan oleh para senopati dan panglima perang Majapahit jika mereka menghadapi kesulitan. Jika terjadi pemberontakan yang dapat mengancam keamanan dan ketenteraman Majapahit, Joko Tole diminta oleh raja untuk meredam pemberontakan. Tanpa memakan banyak korban, ia berhasil melakukan tugas dengan baik.
Tidak heran jika raja sangat sayang kepada Joko Tole. Sebab, hasil kerjanya selalu memuaskan. Akan tetapi, dibalik kesuksesan Joko Tole ada beberapa orang yang merasa iri, kemudian menyebarkan isu dan memfitnah Joko Tole. Para penyebar fitnah itu mengembuskan isu bahwa kesetiaan Joko Tole terhadap Majapahit perlu diragukan. Mereka memfitnah bahwa perjuangan Joko Tole selama ini hanya untuk mendapat hadiah dari raja.
Fitnahan itu ternyata sampai juga ke telinga sang raja. Untuk mengetahui kebenaran berita tersebut, raja memutuskan untuk menguji kesetiaan perwira utamanya itu meskipun sejak awal raja sendiri sebenarnya tidak yakin dengan kebenaran berita tersebut.
Suatu hari, raja memanggil Joko Tole untuk menghadap. “Joko Tole, aku memiliki seorang putri bernama Dewi Ratnadi. Apakah kau mau jika kujodohkan dengannya?” tanya raja.
“Tentu saja hamba akan menerimanya, Baginda,” jawab Joko Tole. “Tapi, ada satu hal yang harus kau ketahui. Putriku ini buta. Apakah kau tetap mau menerimanya?”
“Hamba tetap pada keputusan hamba, Baginda. Hamba akan tetap menikahinya,” ungkap Joko Tole kembali.
Mendengar jawaban Joko Tole yang sangat meyakinkan dan mantap, raja tersenyum bahagia. Penilaiannya selama ini terhadap Joko Tole tidak salah. la memang pemuda yang berbudi pekerti luhur dan baik hati. Selain itu, Joko Tole memiliki jiwa kesatria yang tentunya memiliki kesetiaan terhadap raja dan negerinya. Raja semakin yakin bahwa isu yang menyudutkan Joko Tole itu hanyalah fitnah belaka.
Tidak berapa lama, sang raja menggelar pernikahan putrinya, Dewi Ratnadi, dengan Joko Tole. Pesta pernikahan itu digelar di pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit.
Semua yang hadir ataupun yang mendengar mengenai pesta pernikahan itu memiliki tanggapan yang berbeda-beda.
Orang-orang yang merasa iri dan benci terhadap Joko Tole menganggap pernikahan itu hanya akal-akalan Joko Tole untuk menarik simpati raja. Mereka menganggap bahwa Joko Tole yang sangat tampan bagai Arjuna, tidak akan mungkin mau menikahi Dewi Ramadi yang buta tanpa memiliki maksud lain. Orang-orang jahat memandang Joko Tole hanya sedang bersandiwara melakukan pernikahan dengan putri raja.
Di lain pihak, orang-orang yang senang terhadap Joko Tole menganggap sang raja sungguh tidak adil. Joko Tole yang sudah sangat besar jasanya pada Kerajaan Majapahit, hanya dinikahkan dengan seorang putri yang buta. Seharusnya, menurut mereka, Joko Tole dinikahkan dengan putri raja yang paling cantik.
Setelah pesta pernikahan berakhir, mereka meminta izin kepada raja untuk pulang ke Sumenep. Raja pun memberikan restu dan izinnya kepada kedua pengantin baru itu untuk pulang ke tempat kelahiran Joko Tole.
Esok harinya, Joko Tole dan Dewi Ratnadi memulai perjalanan ke Sumenep dengan diiringi beberapa pengawal dan emban dari Dewi Ratnadi. Rombongan itu mulai meninggalkan pusat Kota Majapahit menuju ke arah timur. Selama di perjalanan, Joko Tole sangat memperhatikan Dewi Ratnadi. Ia tidak segan untuk menunjukkan kasih sayangnya kepada istrinya. Meskipun banyak orang yang mencemooh keadaan Dewi Ratnadi, Joko Tole tetap selalu menyayangi Dewi Ratnadi dengan sepenuh hati tanpa merasa malu.
Berhari-hari sudah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan. Akhirnya, mereka tiba di Pelabuhan Gresik dan menetap untuk beberapa lama di sana. Pelabuhan itu ramai disinggahi kapal-kapal dari berbagai daerah. Dari kapal kecil hingga kapal besar berlabuh di Pelabuhan Gresik.
Setelah rombongan Joko Tole beristirahat di Gresik, mereka melanjutkan perjalanan dengan menyeberangi laut menuju ke arah Kamal—ujung barat Pulau Madura. Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di sebuah daratan. Ketika itu, Dewi Ratnadi ingin sekali mandi. Sebab, selama mengarungi lautan, ia tidak mendapatkan air tawar. Joko Tole melihat sekeliling untuk mencari sumur. Namun, tidak ada satu sumur pun yang terlihat. Ia sangat bingung. Akhirnya, demi mewujudkan keinginan istri tercintanya, Joko Tole mengambil tongkat milik Dewi Ratnadi dan menancapkannya ke tanah. Hal yang ajaib pun terjadi. Ketika tongkat itu dicabut dari dalam tanah, keluarlah air tawar yang memancar dengan deras. Dewi Ratnadi yang kala itu berada di samping Joko Tole, terkena cipratan air dari sumber air itu. Wajahnya basah oleh air. Secara tiba-tiba, mata Dewi Ratnadi yang buta dapat melihat.
“Ya Tuhan, Kanda, aku bisa melihat,” teriak Dewi Ratnadi bahagia.
“Benarkah Dinda dapat melihat?” tanya Joko Tole.
“Benar. Sekarang aku bisa melihat wajah Kanda. Ternyata benar kata orang, Kanda memang pria yang tampan dan baik hati. Sungguh beruntung aku mendapatkan Kanda,” ucap Dewi Ratnadi sambil memegang wajah suaminya.
“Dinda terlalu memuji. Syukurlah, aku sangat senang Dinda bisa melihat,” ucap Joko Tole.
Joko Tole memandangi wajah istrinya dengan penuh kekaguman. Ternyata, bola mata Dewi Ratnadi sangatlah indah dan bersinar bagai bintang kejora pada malam hari. Joko Tole dan Dewi Ratnadi pun tidak henti-hentinya mengucap syukur kepada Yang Mahakuasa atas karunia yang sangat indah dan tidak disangka-disangka.
Dewi Ratnadi pun melanjutkan keinginannya untuk mandi dan berganti pakaian. Setelah mandi, Dewi Ratnadi memilih pakaiannya sendiri karena kedua matanya sudah dapat melihat. Ia mengenakan pakaian yang indah. Sumber mata air itu kini menjadi sumber air yang sangat jernih dan diberi nama Soca yang artinya mata.
Setelah itu, Joko Tole bersama rombongannya melanjutkan perjalanan ke arah timur. Berhari-hari sudah mereka menempuh perjalanan. Dari mengarungi lautan, naik ke perbukitan, sampai menuruni lembah, mereka hadapi dengan sabar dan kuat. Sementara, untuk masalah perbekalan, hampir tidak ada masalah. Sebab, daerah-daerah yang mereka lewati banyak terdapat bahan pangan seperti makanan laut ataupun buah-buahan.
Suatu hari, mereka tiba di sebuah tempat yang sangat nyaman dan berudara segar. Karena telah menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan, Dewi Ratnadi hendak membersihkan dirinya dengan mandi di sebuah sungai yang berair jernih. Mengetahui keinginan istrinya, Joko Tole pun menancapkan tongkatnya ke tanah. Tiba-tiba, air yang sangat jernih keluar dari dalam tanah dengan deras hingga terbentuk sebuah sungai yang mengaliri daerah itu.
Dengan perasaan senang, Dewi Ratnadi pun mandi di sungai itu. Namun, karena arus sungainya mengalir cukup deras, pakaian dalam Dewi Ratnadi terhanyut. “Kanda...Kanda..., pakaianku terbawa arus,” teriak Dewi Ratnadi meminta tolong suaminya.
Joko Tole yang mendengar teriakan sang istri segera datang ke arah sungai. Dengan kesaktiannya, ia memanggil air itu. Air yang mengalir ke hilir kemudian berbalik arah mendekat ke arah Joko Tole. Akhirnya, Joko Tole berhasil mengambil pakaian dalam istrinya yang hanyut terbawa arus. Kini, sumber air yang terletak di sebelah timur laut Kota Sampang itu diberi nama Omben, yang berarti pakaian dalam wanita.
Mereka pun melanjutkan kembali perjalanan ke arah timur. Tidak berapa lama, tibalah Joko Tole dan rombongannya di Sumenep. la disambut dengan gembira oleh kedua orangtuanya dan warga Sumenep.
“Anakku, Joko Tole, akhirnya kamu pulang. Kami sangat rindu kepadamu. Istrimu juga sangat cantik,” sambut kedua orangtua Joko Tole sambil memeluk anaknya. Mereka akhirnya saling melepas rindu.
Joko Tole memiliki seorang kakak laki-laki bernama Pangeran Saccadiningrat. Ia adalah seorang adipati atau raja muda yang memerintah di Kadipaten Sumenep. Pemerintahan Pangeran Saccadiningrat berada di bawah kekuasaan Majapahit.
Suatu hari, Pangeran Saccadiningrat yang sudah memasuki usia tua harus berhadapan dengan sekelompok bajak laut dari Cina. Para pembajak itu biasa mengganggu kapal-kapal yang melalui wilayah perairan Selat Madura. Joko Tole mendapat tugas untuk mengamankan wilayah tersebut. Mau tidak mau, ia harus menghadapi para pembajak dari Cina itu. Dengan menggunakan kuda dan cambuk api dari sang kakek, Joko Tole melakukan perlawanan sengit dan berhasil melumpuhkan para pembajak itu.
Karena jasanya, ia dinobatkan sebagai adipati yang memerintah wilayah Sumenep menggantikan kakaknya yang sudah berusia lanjut. Joko Tole memerintah dengan bijaksana, jujur, dan adil. Tidak heran jika masyarakat Sumenep mengalami masa kejayaannya sewaktu diperintah olehnya.
Pesan Moral:
Melaksanakan pekerjaan dengan penuh tanggung jawab dan tanpa pamrih akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Karenanya, laksanakan semua tugas yang dipercayakan kepada kita dengan baik, penuh amanah, dan bertanggung jawab.
Buku Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara
Artikel Terkait: