
Mungkin selama ini kita telah mengenal Kereta Api Sawunggalih yang telah beroperasi sejak tahun 1977. KA Sawunggalih adalah nama rangkaian kereta api jarak jauh milik PT. KAI yang menghubungkan relasi Stasiun Pasar Senen di Jakarta hingga Stasiun Kutoarjo di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Walaupun sudah cukup lama dikenal sebagai nama kereta api, tapi seperti apa kisah dibalik nama Sawunggalih itu, belum banyak diceritakan. Karena itu mari kita simak saja kisahnya berikut ini.
Kisah bermula dari Sawunggalih kecil yang dididik oleh eyangnya bernama Kyai Jinem. Kyai Jinem adalah abdi dalem Adipati Rama Kenjeng Raden Tumenggung Joyokusumo yang sekarang peninggalan sejarahnya ada di kota Gombong. Semasa hidupnya Adipati Rama KRT Joyokusumo menjadi adipati di daerah Begelen yang sangat terkenal.
Pada suatu hari Adipati Joyokusumo pergi dari keraton menuju ke arah barat dengan ditemani abdinya bernama kyai Jinem. Sesampainya di Masjid Semawung ia merasa lelah dan istirahat di situ. Karena sudah larut malam Adipati Joyokusumo dan Kyai Jinem pun bersiap untuk tidur, tetapi mereka tidak mau tidur di dalam masjid melainkan tidur di bawah pohon dengan masjid tersebut.
Pada waktu itu Kyai Jinem mendapat ilham yang diterimanya bahwa di daerah itu dikemudian hari akan menjadi Negara yang subur makmur murah sandang dan pangan. Sementara itu Adipati Joyokusumo juga bermimpi kalau hidungnya terasa kemasukan hewan kecil yang berujud jangkerik yang terus menerus bersembunyi. Sementara waktu jengkerik itu meloncat dari hidung ke tanah jangkerik tersebut dilempar dengan keris pusakanya dan jangkerik hilang bersama pusakanya dan tidak tahu kemana rimbanya.
Setelah itu Kyai Jinem tidak jadi mengantar pulang Adipati Joyokusumo dengan alasan kesehatannya terganggu. Pada saat akan pulang Adipati Joyokusumo tidak menceriterakan ilham lewat mimpi yang baru saja diterimanya kepada abdinya dan akhirnya beliau diantar oleh beberapa abdinya yang lain. Sebelum pulang Adipati Joyokusumo berpesan kepada Kyai Jinem agar menggali harta yang terpendam pada tanah bekas tempat tidur Adipati Joyokusumo dan Kyai Jinem dan harta tersebut nantinya akan dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Sepeninggal Adipati Joyokusumo, Kyai Jinem menetap dan membuka lahan baru, sebagai petani dan juga memperluas daerah Semawung. Dalam membuka lahan pertanian Kyai Jinem dibantu oleh Juru Kunci Masjid Semawung dan tak lama kemudian timbullah rasa tertariknya kepada putri Ki Juru Kunci yang bernama Dyah Rara Murdinah. Ki Juru Kunci beserta istrinya merasakan hal tersebut, kemudian dinikahkanlah Kyai Jinem dengan putrinya. Selang beberapa lama Kyai Jinem dalam membangun rumah tangga dikaruniai putra yang diberi nama JAKA WUKU. Setelah dewasa Jaka Wuku juga beristrikan keluarga dari eyangnya Ki Juru kunci dan mempunyai putra diberi nama JAKA GUTHUL. Jaka Wuku hanya berusia pendek, sehingga Jaka Guthul lalu ikut dan dididik oleh eyangnya yaitu Kyai Jinem.
Pada waktu itu Kyai Jinem ingat akan pesan Adipati Joyokusumo kalau untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari supaya menggali tanah di sekitar masjid dimana pada waktu itu tempat hilangnya keris pusaka dan jangkerik. Setelah digali bersama cucunya Jaka Guthul, maka di dalam tanah tersebut ditemukan harta karun yang banyak berupa emas.
Kyai Jinem di daerahnya terkenal sebagai seorang yang suka bertapa, tirakat dan menyepi. Pada suatu malam dalam tidurnya ia mendapat ilham lewat mimpinya agar supaya pergi ke arah barat. Dan pergilah Kyai Jinem beserta cucunya Jaka Guthul dengan berpura-pura menjadi pedagang tembaga. Sesampainya di daerah Penatus Kebumen, hari sudah larut malam, sehingga terpaksa menginap di rumah penduduk setempat, tetapi tidak mau tidur di dalam rumah namun di emperan depan kandang kuda. Tiba-tiba pada waktu tengah malam Kyai Jinem dikejutkan oleh suara aneh seakan-akan suara orang menangis serasa menyayat hati. Setelah dicari-cari sumber suara tadi berada di tengah tumpukan kayu untuk kayu bakar penerang kandang, segera kayunya diambil Kyai Jinem dan dibelah. Di dalamnya ditemukan sebuah keris pusaka yang sakti. Hal itulah yang membuat Kyai Jinem senang.
Esok harinya ia pulang ke Semawung dan anehnya sesampainya di halaman rumah tiba-tiba ada angin ribut (lesus - dalam Bahasa Jawa), sindung riwut, celeret tahun yang sangat mengerikan. Apa saja tersapu oleh angin tersebut termasuk cucunya, Jaka Guthul. Setelah itu Kyai Jinem merasa sedih dan akhirnya mencari daerah yang sepi untuk bertapa. Dalam tapanya tersebut ia mendapat ilham lagi supaya pergi ke selatan.
Konon Kyai Jinem pergi ke arah selatan berjalan menyusuri Pantai Laut Selatan dan akhirnya sampai di daerah Rawagung yang sekarang daerah tersebut dinamakan Bonorowo. Di daerah itulah Kyai Jinem mencari ikan (mengail) untuk menghilangkan kesedihan hatinya karena ditinggal oleh Jaka Guthul yang tidak tentu arah raibnya tersebut. Sesudah dapat ikan banyak Kyai Jinem tersebut mencari rumah untuk bermalam, karena pada waktu itu hari telah larut malam, dan pada waktu itu ia berada di Kelurahan Dudu Kulon.
Di antara hasil ikannya itu, ada salah satu yang sangat besar, dan diberikan kepada Bu Lurah supaya dimasak untuk makan malam. Karena terlalu besarnya ikan itu, Bu lurah takut untuk membersihkan kotorannya dan Kyai Jinem sendiri yang membersihkan ikan tersebut. Setelah ikan dibersihkan dari kepala sampai ekornya, ikan dibelah menjadi dua bagian maka ditemukan sebilah keris pusaka. Pagi harinya Kyai Jinem pulang ke rumah dan pada waktu akan masuk ke rumah tersebut, terjadilah peristiwa yang mengagetkan lagi, yaitu datanglah angin lesus secara tak terduga dari sebelah atas muncul Jaka Guthul kembali pulang dan berada di depan Kyai Jinem berdiri.
Jaka Guthul bercerita bahwa pada waktu itu ia dibawa oleh angin lesus sampai di kerajaan Nyai Loro Kidul, dan menerima nasehat yang berhubungan dengan jalan hidup dikelak kemudian hari. Jaka Guthul juga diberi pusaka yang bernama Boghondali, yang disimpan di telapak tangan. Hal inilah yang menjadi Jaka Guthul sakti mandraguna.
Alkisah pada masa itu terjadilah peperangan antara Pangeran Mangkubumi melawan Pangeran Puger yang dibantu oleh pasukan kompeni Belanda. Pihak Pangeran Mangkubumi, dalam peperangan itu makin lama makin terpojok dan terdesaklah pihak prajurit Pangeran Mangkubumi. Melihat keadaan yang gawat, Jaka Guthul berniat untuk masuk sebagai prajurit Mangkubumi. Setelah mohon restu kepada Eyangnya, Kyai Jinem, maka Jaka Guthul pergi menghadap ke tempat Pangeran Mangkubumi berada untuk menyampaikan niatnya menjadi prajuritnya. Walaupun agak keberatan menerima Jaka Guthul tersebut, tetapi akhirnya ia diterima asalkan bisa membantu mengalahkan kompeni Belanda.
Peperangan seru pun terjadi di daerah Kedu, Jenar, Ungaran, sampai di prapatan Ketawang di utara Sungai Lereng. Dikarenakan kesaktian Jaka Guthul, banyak sekali pasukan kompeni Belanda yang tewas dan kocar-kacir. Seterusnya Jaka Guthul beserta pasukan Pangeran Mangkubumi makin berkobar semangat perangnya sehingga pasukan kompeni Balanda terpojok sampai ke Jawa Timur. Melihat keadaan yang membahayakan itu, pihak Belanda lalu memilih menggunakan cara politik, yaitu mengadakan gencatan senjata dan mohon agar diadakan perundingan. Melalui perundingan itu, Kerajaan Mataram terbagi menjadi dua negeri, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat di bawah Pangeran Puger dan Kasultanan Ngayogjakarta Hadiningrat di bawah Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi kemudian menjadi Sultan di Ngayogjakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Karena jasanya dalam peperangan dan berhasil ikut mengalahkan pasukan kompeni Belanda, maka Sri Sultan Hamengkubuwono I menganugerahi Jaka Guthul kehormatan sebagai seorang tumenggung dengan sebutan Tumenggung Kartawiyogo. Namun ketika peperangan telah usai, tidak terduga timbullah pemberontakan yang dipimpin oleh seorang Tumenggung yang berasal dari daerah Kadipaten Kaleng, Karanganyar, Kebumen. Tumenggung itu merasa tidak puas dengan pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I. Untuk menumpas pemberontakan tersebut lalu Sri Sultan Hamengkubuwono I memerintahkan Tumenggung Kartawiyogo (Jaka Guthul) untuk memadamkannya. Tumenggung Kartawiyogo pun berangkat melaksanakan tugasnya dengan gagah berani untuk menumpas pemberontakan itu.
Setelah pemberontak dapat dikalahkan, sebagai penghargaan, Tumenggung Kartawiyogo diberi tambahan gelar lagi oleh Sultan menjadi Tumenggung Kartawiyogo Sawunggalih. Sawunggalih lalu diberi tanah Semawung di Kutoarjo, Kabupaten Purworejo saat ini. Di hari tuanya Tumenggung Kartawiyogo Sawunggalih menjadi seorang ulama atau pepundhen dan sudah tidak memikirkan duniawi lagi. Setelah itu daerah Semawung tersebut kemudian diberikanlah kepada putranya, Raden Mas Umar Said, yang bergelar Tumenggung Sawunggalih Notonegoro.
Pesan Moral:
Baca Juga:
Artikel Terkait: