
Urip Sumoharjo atau Oerip Soemohardjo (ejaan lama) lahir pada 23 Februari 1893 di Purworejo, Jawa Tengah. Nama kecilnya adalah Muhammad Sidik. Awalnya Urip Sumoharjo menempuh pendidikan di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), yaitu Sekolah Calon Pegawai Pemerintah di Magelang, tapi kemudian beliau beralih ke sekolah militer. Urip Sumoharjo lulus dari Sekolah Militer di Meester Cornelis, Batavia (sekarang Jatinegara, Jakarta), sebagai perwira teladan.
Setelah tamat dari sekolah militer, Urip memasuki Dinas Tentara Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) dengan pangkat Letnan Dua. Beliau berdinas di Kalimantan selama tujuh tahun. Sebagai perwira, beliau dinilai cukup berhasil, terutama dalam tugas-tugas patroli. Urip menjadi satu-satunya orang Indonesia yang mencapai pangkat mayor dalam KNIL. Namun, beliau tetap bersikap kritis terhadap diskriminasi yang diterima perwira bumiputra. Salah satunya ketika beliau berada di Banjarmasin. Urip memprotes peraturan yang melarang pewira Indonesia bergabung dengan tim sepak bola. Di Balikpapan, Urip pun menentang peraturan yang melarang orang-orang Indonesia naik kereta api milik Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM).
Pada 31 Agustus 1938 di Purworejo dilangsungkan upacara ulang tahun Ratu Wilhelmina, dan Urip diangkat sebagai ketua panitia. Ternyata salah seorang undangan, yakni Bupati Purworejo, datang terlambat. Urip melarang Bupati memasuki tempat upacara. Kasus tersebut kemudian dilaporkan kepada Departemen Perang dan Urip disalahkan karenanya. Kemudian, beliau dipindahkan ke Gombong. Karena merasa tidak bersalah, melalui telepon Urip mengundurkan diri dari dinas militer.
Menjelang Perang Dunia II, pemerintah Hindia Belanda mengumumkan mobilisasi. Urip mendaftar kembali dan diserahi tugas memimpin Depo Cimahi. Pada 1942 Belanda menyerah kepada tentara Jepang dan semua tentara Belanda ditawan Jepang, termasuk Urip. Setelah Urip dibebaskan, Jepang menawarkan jabatan sebagai komandan Polisi, tetapi beliau menolaknya.
Pada masa revolusi kemerdekaan Urip Sumoharjo bersama tiga belas temannya bekas KNIL membuat pernyataan tidak terikat lagi dalam dinas KNIL. Pada 5 Oktober 1945, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk dan Urip Sumoharjo diangkat menjadi Kepala Staf Umum dengan pangkat Mayor Jenderal. Sebagai Kepala Staf, tugas yang dipikulnya cukup berat, dengan jumlah tentara yang cukup banyak serta organisasi yang belum teratur. Pada waktu itu TKR masih belum mempunyai pimpinan tertinggi yang bertanggung jawab secara penuh. Pada November 1945, Urip Sumoharjo mengundang para komandan divisi ke Yogyakarta untuk memilih seorang panglima TKR. Kolonel Soedirman, Komandan Divisi V Banyumas, terpilih sebagai panglima TKR. Usaha Urip Sumoharjo memperbaiki Organisasi tentara tidaklah mudah. Atas jasanya, Urip Sumoharjo diakui sebagai Bapak Angkatan Perang Republik Indonesia.
Pada 1948, setelah Perjanjian Renville, Urip mengundurkan diri dari jabatan Kepala Staf Angkatan Perang. Selanjutnya, beliau diangkat menjadi Penasihat Militer Presiden. Urip Sumoharjo adalah tokoh militer sejati. Beliau menjalankan tugas kemiliterannya dengan tulus hingga akhir hayatnya.
Letnan Jenderal Urip Sumoharjo wafat pada 17 November 1948 di Yogyakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Yogyakarta. Pada 10 Desember 1964, berdasarkan Keppres No. 314/1964, Letnan Jenderal Urip Sumoharjo dinobatkan menjadi pahlawan nasional. Selain itu Urip Sumoharjo juga dianugerahi sejumlah tanda kehormatan dari pemerintah Indonesia secara anumerta, termasuk Bintang Sakti (1959), Bintang Mahaputra (1960), Bintang Republik Indonesia Adipurna (1967), dan Bintang Kartika Eka Paksi Utama (1968). Nama beliau diabadikan sebagai nama sebuah rumah sakit di Bandar Lampung, dan sebagai nama jalan-jalan penting di berbagai daerah di Indonesia.
Baca Juga:
Artikel Terkait: