
Dikisahkan pada suatu ketika di daerah Jawa Timur berdiri sebuah kerajaan bernama Balumbang. Raja kerajaan tersebut bernama Pangeran Kedawung. Konon, Pangeran Kedawung disebut-sebut sebagai Sunan Tawangalun. Ia memiliki lima orang anak. Salah satunya bernama Pangeran Lanang Dangiran.
Sejak kecil, Pangeran Lanang Dangiran sering melakukan pertapaan. Lokasi yang ia pilih untuk bertapa adalah tempat-tempat yang angker. Ketika usia Pangeran Lanang Dangiran menginjak delapan belas tahun, ia melakukan tapa yang tergolong sangat berani. Untuk melaksanakan tapanya, Pangeran Lanang Dangiran menghanyutkan diri di laut. Dengan menggunakan sebuah papan kayu dan sebuah beronjong (sejenis alat penangkap ikan), ia terombang-ambing di lautan yang luas dan dalam.
Selama menjalani pertapaan, Pangeran Lanang Dangiran tidak makan dan minum. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan sudah ia terombang-ambing di lautan luas. Tidak disadari, ia telah memasuki wilayah Laut Jawa.
Suatu hari, muncul badai yang sangat dahsyat. Gelombang tinggi dan angin topan mengempaskan tubuh Pangeran Lanang Dangiran. Dalam keadaan tidak sadar, tubuh Pangeran Lanang Dangiran terdampar di sebuah pantai dekat daerah Sedayu (Lamongan). Keadaan Pangeran Lanang Dangiran pun sudah berubah. Tubuhnya kini sudah dilekati dengan kerang, keong, dan karang-karangan (remis). Tubuh Pangeran Lanang Dangiran dapat dikatakan seperti bakaran buliran jagung yang saling menempel yang biasa disebut "berondong".
Untunglah ketika itu lewat Kyai Kendhil Wesi yang sedang berjalan-jalan di sekitar pantai. Ia menemukan tubuh Pangeran Lanang Dangiran yang terdampar. Dengan segera, ia menolong Pangeran Lanang Dangiran yang tidak sadarkan diri dengan tubuh bagai bakaran jagung. Kyai Kendhil Wesi membawanya ke pondok.
"Hai anak muda, siapakan dirimu? Mengapa kau sampai terdampar di pantai ini?" tanya Kyai Kendhil Wesi.
"Namaku adalah Pangeran Lanang Dangiran. Aku adalah putra dari Raja Balumbang yang sedang melakukan tapa di tengah laut menggunakan papan kayu dan beronjong. Namun, tiba-tiba saja datang angin topan dan gelombang besar hingga aku terempas dan tidak sadarkan diri. Terima kasih Kyai telah menyelamatkan nyawaku," jawab Pangeran Lanang Dangiran.
"Benarkah kau anak dari Raja Balumbang? Jika benar demikian, berarti kita masih ada hubungan saudara. Aku adalah Kyai Kendhil Wesi. Aku juga masih keturunan dari salah satu Raja Balumbang yang bernama Menakoemadi. Karena kita bersaudara, tinggallah untuk beberapa lama di pondokku," ucap Kyai Kendhil Wesi.
"Aku benar-benar sangat bahagia mendengarnya. Aku tidak menyangka dapat bertemu dengan saudaraku di tempat ini. Kalau begitu, baiklah. Aku akan tinggal beberapa lama di pondok Kyai. Sekali lagi, terima kasih atas kebaikan Kyai," ucap Pangeran Lanang Dangiran. "Sudahlah, kau tidak perlu sungkan," balas Kyai Kendhil Wesi.
Untuk beberapa lama Pangeran Lanang Dangiran tinggal bersama Kyai Kendhil Wesi. Kyai Kendhil Wesi sudah menganggap Pangeran Lanang Dangiran sebagai anaknya sendiri. Kemudian, Pangeran Lanang Dangiran memeluk agama Islam.
Pangeran Lanang Dangiran sangat rajin dan tekun dalam mendalami ajaran agama Islam. Ia pun tumbuh menjadi pria yang berbudi pekerti luhur dan memiliki iman yang kuat. Tidak segan-segan Pangeran Lanang Dangiran menurunkan ilmunya kepada orang-orang di sekitarnya. Oleh sebab itu, ia dikenal orang-orang di sekitarnya sebagai guru agama Islam. Ia pun dijuluki sebagai Kyai Ageng Brondong.
Kyai Ageng Brondong menyebarluaskan ajaran agama Islam sampai ke daerah Cirebon. Ketika itu, di Panembahan Cirebon terdapat seorang putri yang cantik jelita. Putri itu bernama Dewi Sekararum.
Suatu hari, Dewi Sekararum mengadakan sayembara yang isinya "Barangsiapa yang berhasil memetik buah delima yang tumbuh di halaman rumahnya, dapat menjadi suaminya."
Sayembara itu banyak dihadiri oleh laki-laki dari berbagai penjuru negeri. Mulai yang usianya muda, tua, bahkan yang sudah beristri turut hadir dalam sayembara itu. Mereka semua ingin mempersunting Dewi Sekararum yang cantik jelita.
Satu demi satu peserta sayembara mencoba memetik buah delima. Namun, setiap tangan dijulurkan, mereka menjerit kesakitan dan tangannya melepuh seperti terkena air panas. Hal ini terjadi pada setiap peserta sayembara hingga tidak ada lagi yang berani memetik buah delima itu.
Kyai Ageng Brondong yang kebetulan berada di tengah-tengah peserta sayembara segera mencoba mengambil buah delima itu. "Wahai saudara-saudara, aku adalah Kyai Ageng Brondong. Aku akan mencoba mengambil buah delima itu. Sebenarnya, buah delima itu dijaga oleh raja jin yang jahat. Tapi dengan izin Allah Yang Mahakuasa, aku akan meminta pertolongan-Nya untuk melumpuhkan jin ini," ucap Kyai Ageng Brondong.
Kemudian, Kyai Ageng Brondong membaca doa-doa dari ayat suci Al-Qur'an. Semua yang hadir ketika itu tampak tertegun melihat Kyai Ageng Brondong yang berusaha menaklukkan jin jahat. Tidak lama kemudian, muncul asal putih yang sangat tebal. Ketika asap itu mulai menghilang, tiba-tiba tampak sosok tubuh yang tinggi besar dengan raut wajah yang menyeramkan tampak tergeletak tidak berdaya di bawah pohon delima.
"Ampun...ampun, aku bertibat untuk tidak mengulangi perbuatan jahatku lagi," rintih mahluk itu.
"Siapa kamu?" tanya Kyai Ageng Brondong. "Aku adalah raja jin penunggu pohon delima itu, Namaku jin Supribar," jawab makhluk itu.
"Mengapa kau mengganggu manusia dan mencelakainya?" tanya Kyai Ageng Brondong. "Aku disuruh Dewi Sekararum."
Akhirnya, Dewi Sekararum mengakui perbuatannya. Ia sengaja melakukan hal itu untuk mencari seorang suami yang sakti. Sesuai dengan sayembara itu, Dewi Sekararum akhirnya dipersunting oleh Kyai Ageng Brondong dan diboyong ke Surabaya. Mereka tinggal di daerah bernama Bataputih. Dari keturunan mereka, lahirnya adipati-adipati di Surabaya.
Pesan moral: Timbalah ilmu sebanyak-banyaknya dan amalkanlah ilmu itu sebaik-baiknya untuk kebaikan orang yang banyak.
Baca Juga: