Halaman utama daerahkita.com
Halaman utama daerahkita.com
Hari Bakti Pekerjaan Umum 3 Desember 2023
wahyumedia

Legenda Gunung Bromo, Asal Mula Tengger dan Tradisi Kasadha

DaerahKita 17/10/2020

Dikisahkan pada suatu ketika seorang Raja Majapahit meninggalkan negerinya dan membangun sebuah dusun di lereng Gunung Bromo bersama beberapa orang pengikutnya yang setia, setelah kalah berperang melawan putranya sendiri. Di tempat tinggalnya yang baru itu istri sang raja kemudian melahirkan seorang bayi perempuan.

Buah hati yang mereka nanti-nantikan itu lahir ke dunia di tengah malam buta. Namun berbeda dengan bayi lainnya, sang buah hati tidak menangis ketika dilahirkan. Sang istri sempat risau, tetapi mantan Raja Majapahit menenangkannya.

"Jangan khawatir, Dinda!" kata mantan Raja Majapahit pada istrinya.

"Putri kita ini lahir dengan keadaan sehat badannya, tidak kurang sesuatu apapun. Wajah putri kita juga tampak bersinar bagaikan seorang titisan dewi,” ujarnya kemudian sambil menimang-nimang bayinya yang mungil itu di depan istrinya.

Pasangan suami-istri yang berbahagia itu pun memberi nama bayinya Roro Anteng, yang berarti seorang perempuan yang pendiam atau tenang. Nama yang mencerminkan sifat sang bayi.

Di waktu yang hampir bersamaan, tidak jauh dari rumah Roro Anteng dilahirkan, juga lahir seorang bayi laki-laki dari pasangan suami-istri brahmana atau pendeta. Suara tangis bayi yang baru lahir itu sangat keras sehingga memecah kesunyian malam di lereng Gunung Bromo itu. Bayi itu tampak sehat dan montok. Oleh kedua orang tuanya, bayi itu diberi nama Joko Seger, yang berarti seorang laki-laki yang berbadan segar atau sehat.

Seiring berjalannya waktu, kedua bayi itu pun tumbuh menjadi dewasa. Joko Seger tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan, sedangkan Roro Anteng tumbuh menjadi gadis yang cantik nan rupawan. Berita tentang kecantikan Roro Anteng pun tersebar hingga ke mana-mana dan menjadi pujaan setiap pemuda. Sudah banyak pemuda yang datang meminangnya, namun tak satu pun yang diterimanya. Rupanya, putri mantan Raja Majapahit itu telah menjalin hubungan kasih dengan Joko Seger dan cintanya tidak akan berpaling kepada orang lain. Apalagi ayahanda Roro Anteng, walaupun dari golongan bangsawan tapi bisa menerima Joko Seger yang bukan seorang bangsawan untuk menjadi calon menantunya.

Namun kemudian muncul masalah, yaitu ketika akhirnya kabar tentang kecantikan Roro Anteng sampai ke telinga sesosok raksasa yang tinggal di hutan di sekitar lereng Gunung Bromo. Raksasa yang menyerupai badak itu bernama Kyai Bima. Ia sangat sakti dan kejam. Begitu mendengar kabar tersebut, Kyai Bima pun segera datang meminang Roro Anteng. Jika keinginannya tidak dituruti, maka ia akan membinasakan dusun itu dan seluruh isinya. Hal itulah yang membuat Roro Anteng dan keluarganya kebingungan untuk menolak pinangannya. Sementara Joko Seger pun tidak dapat berbuat apa-apa karena tidak mampu menandingi kesaktian raksasa itu.

Setelah sejenak berpikir keras, akhirnya Roro Anteng menemukan sebuah cara untuk menolak pinangan Kyai Bima secara halus. Dia akan mengajukan satu persyaratan yang kira-kira tidak sanggup dipenuhi oleh raksasa itu.

"Baiklah, Kyai Bima! Aku akan menerima pinanganmu, tapi kamu harus memenuhi satu syarat," ujar Roro Anteng.

"Apakah syarat itu! Cepat katakan!" seru Kyai Bima dengan nada membentak.

Mendengar seruan itu, Roro Anteng menjadi gugup. Namun, ia berusaha tetap bersikap tenang untuk menghilangkan rasa gugupnya.

"Buatkan aku danau di atas Gunung Bromo itu! Jika kamu sanggup menyelesaikannya dalam waktu semalam, aku akan menerima pinanganmu," ujar Roro Anteng.

Dengan penuh percaya diri dan berbekal kesaktian yang dimilikinya, Kyai Bima menyanggupi persyaratan itu dan menganggap bahwa persyaratan itu sangatlah mudah baginya.

"Hanya itukah permintaanmu, wahai Roro Anteng?" tanya raksasa itu dengan nada angkuh.

"Iya, hanya itu. Tapi ingat, danau itu harus selesai sebelum ayam berkokok!" seru Roro Anteng mengingatkan raksasa itu.

Mendengar jawaban Roro Anteng, raksasa itu tertawa terbahak-bahak, lalu bergegas pergi ke puncak Gunung Bromo. Setibanya di sana, ia pun mulai mengeruk tanah dengan menggunakan batok (tempurung) kelapa yang sangat besar. Hanya beberapa kali kerukan, ia telah berhasil membuat lubang besar. Ia terus mengeruk tanah di atas gunung itu tanpa mengenal lelah.

Roro Anteng pun mulai cemas. Ketika hari menjelang pagi, pembuatan danau itu hampir selesai, tinggal beberapa kali kerukan lagi.

"Aduh, celakalah aku!" ucap Roro Anteng cemas, "raksasa itu benar-benar sakti. Apa yang harus kulakukan untuk menghentikan pekerjaannya?"

Roro Anteng kembali berpikir keras. Akhirnya ia memutuskan untuk membangunkan seluruh keluarga dan tetangganya. Kaum laki-laki diperintahkan untuk membakar jerami, sedangkan kaum perempuan diperintahkan untuk menumbuk padi. Tak berapa lama kemudian, cahaya kemerah-merahan pun mulai tampak dari arah timur. Suara lesung terdengar bertalu-talu, dan kemudian disusul suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan.

Mengetahui tanda-tanda datangnya waktu pagi tersebut, Kyai Bima tersentak kaget dan segera menghentikan pekerjaannya membuat danau yang sudah hampir selesai itu.

"Sungguh sial!" seru raksasa itu dengan kesal, "rupanya hari sudah pagi. Aku gagal mempersunting Roro Anteng."

Saat Kyai Bima meninggalkan puncak Gunung Bromo, tempurung kelapa yang masih dipegangnya segera dilemparkannya. Konon, tempurung kelapa itu jatuh tertelungkup dan kemudian menjelma menjadi sebuah gunung yang dinamakan Gunung Batok. Jalan yang dilalui raksasa itu menjadi sebuah sungai dan hingga kini masih terlihat di hutan pasir Gunung Batok. Sementara danau yang gagal dibuat oleh Kyai Bima sekarang dikenal dengan sebutan Segara Wedi atau lautan pasir yang masih bisa dikunjungi hingga kini di kawasan Gunung Bromo.

Betapa senangnya hati Roro Anteng dan keluarganya melihat raksasa itu pergi. Tak berapa lama kemudian, Roro Anteng pun menikah dengan Joko Seger. Setelah itu, Joko Seger dan Roro Anteng membuka desa baru yang diberi nama Tengger. Nama desa itu diambil dari gabungan akhiran nama Anteng (Teng) dan Seger (Ger). Mereka pun hidup berbahagia di sana.

Di bawah kepemimpinan Joko Seger dan Roro Anteng, para penduduk hidup aman dan tenteram. Mereka menjauhi pengaruh luar. Namun, setelah sekian lama menikah, mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Akhirnya, keduanya bersemedi di puncak Gunung Bromo. Mereka meminta kepada Dewata agar dikaruniai keturunan. Tidak lama kemudian terdengar suara gemuruh dan percikan api yang berasal dari dalam kepundan Gunung Bromo.

"Istriku, dengarlah! Sepertinya Dewata mengabulkan permohonan kita. Terima kasih Dewata Yang Agung. Kelak anak bungsuku akan kupersembahkan untukmu sebagai ucapan terima kasihku," ucap Joko Tengger dengan senang hati.

Karena terlalu senang, ucapan janji yang dikatakanya tidak dipikirkannya terlebih dahulu. Joko Seger yang terlalu gegabah tidak menyadari bahwa janjinya akan sulit dipenuhi.

"Suamiku, apa yang kau ucapkan? Kita tidak akan mungkin tega mengorbankan anak kandung kita untuk dijadikan persembahan!"

"Maafkan aku. Karena terlalu senang, aku tidak berpikir jernih ketika mengucapkannya. Tapi aku juga tidak bisa menarik kembali kata-kataku kepada Dewata. Dewata bisa marah kepada kita," katanya kembali.

Tahun berganti tahun, keinginan Joko Seger dan Roro Anteng terkabul. Mereka akhirnya dikaruniai sepuluh orang anak. Setelah anak yang ke sepuluh, mereka tidak lagi dikaruniai anak. Oleh karena itu, anak ke sepuluh tersebut dianggap sebagai anak yang paling bungsu. Anak itu bernama Kesuma.

Setelah sekian lama, anak-anak mereka tumbuh dewasa. Joko Seger dan Roro Anteng belum juga melaksanakan janji yang pernah diucapkan. Hidup mereka menjadi tidak tenang.

Suatu hari, muncul peristiwa dahsyat yang mengejutkan seluruh penduduk Tengger. Gunung Bromo yang dikeramatkan meletus. Gunung tersebut mengeluarkan asap hitam dan lahar. Penduduk Tengger panik dan segera mengungsi. Hanya Joko Tengger dan keluarganya yang tetap bertahan di daerah itu. Meskipun mereka menyadari bahaya yang dapat menimpa, mereka mencoba bertahan.

"Istriku, sepertinya Dewata benar-benar menagih janji kita," ucap Joko Seger lirih.

Kegundahan suami istri itu menimbulkan pertanyaan dari anak-anak mereka. "Ada apakah gerangan ayah dan ibu sangat cemas? Jika mereka takut akan gunung meletus, pastinya mereka telah mengungsi sejak kemarin," pikir anak-anak mereka.

Akhirnya Joko Seger dan Roro Anteng menceritakan kejadian beberapa tahun silam kepada anak-anaknya. Mendengar cerita itu, anak-anaknya sangat sedih. Karena untuk melaksanakan janji kedua orangtuanya, mereka harus kehilangan adik bungsunya. Namun, jika kedua orangtuanya tidak melaksanakan janji tersebut, Dewata pasti akan marah dapat mencelakai seluruh penduduk Tengger. Bagaikan makan buah simalakama, tidak seorang pun dari anak-anak mereka yang berani bicara.

Tiba-tiba saja si bungsu (Kesuma) berkata, "Ayah, ibu, dan kakak-kakakku tercinta, relakan aku pergi. Semoga Dewata menerima pengorbananku."

Tentu saja perkataannya membuat semua keluarga kaget dan sedih. Mereka tidak ingin kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Tapi, janji harus ditepati demi ketenteraman rakyat Tengger. "Aku hanya berpesan kepada kalian agar mengingat kepergianku. Kirimlah hasil ladang dan ternak kalian ke kawah Bromo setiap terang bulan, tanggal 14 bulan Kasadha," ucap Kesuma.

Setelah berpamitan kepada keluarganya, pergilah Kesuma ke puncak Gunung Bromo. Tidak ada rasa takut yang tampak dari wajahnya. Dengan berani, ia menceburkan diri ke dalam kawah Bromo. Setelah pengorbanan tersebut, Gunung Bromo tampak tenang. Mereka menganggap bahwa Dewata sudah tidak marah lagi. Semenjak kejadian itu, tradisi mengirim hasil ladang dan ternak ke dalam kawah Bromo masih tetap berlangsung sampai sekarang. Tradisi yang dilaksanakan tiap tahun pada bulan Jawa Asyuro (Suro) ini kemudian dinamakan Kasadha.

Pesan moral:

Janji adalah utang. Oleh karena itu, jangan pernah mengucapkan janji yang tidak bisa kita tepati.

Tags cerita kisah rakyat legenda sastra edukasi budaya tradisi dongeng anak siswa literasi fiksi murid
Referensi:
  1. Buku Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara
    Oleh: Sumbi Sambangsari
    Penerbit: Wahyumedia
  2. histori.id

Artikel Terkait:




Semua Komentar
    Belum ada komentar
Tulis Komentar