
Alkisah pada jaman dahulu, di pantai timur Pulau Jawa, terdapat sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Menak Prakosa. Ia memiliki seorang putra bernama Raden Banterang. Raden Banterang sangatlah tampan. Ia gagah dan berwibawa seperti ayahandanya. Sayangnya, Raden Banterang memiliki sifat yang mudah marah. Ketika emosinya sedang tinggi, ia kurang bisa mengendalikan diri. Jika perintahnya tidak dilaksanakan dengan baik, tidak segan-segan ia akan memberikan hukuman berat.
Suatu hari, Raden Banterang pergi berburu ke hutan bersama para pengawalnya. Setelah lelah berburu mereka beristirahat. Raden Banterang pun pergi ke sebuah sungai seorang diri. Sesampainya di pinggir sungai, ia dikejutkan dengan sesosok gadis cantik yang sedang duduk termenung. Raden Banterang memberanikan diri untuk menghampiri dan menyapa gadis itu.
"Hai, gadis cantik, siapakah gerangan dirimu? Apa yang kau lakukan di sini seorang diri? Di mana rumahmu?"
Dengan sedikit terkejut gadis itu pun menjawab pertanyaan Raden Banterang. "Nama hamba Surati. Hamba adalah putri Raja Klungkung. Hamba berada di sini untuk berlindung dari kejaran prajurit-prajurit yang menyerang kerajaan hamba. Sementara, ayah hamba telah gugur dalam peperangan itu."
Betapa terkejutnya Raden Banterang mendengar cerita gadis itu. Ternyata, kerajaan yang telah menyerang kerajaan Klungkung adalah kerajaannya. Tadi pagi, ayahnya juga baru memberikan kabar gembira bahwa ia telah menaklukkan Kerajaan Klungkung dan membunuh rajanya. Itu berarti, ayahnyalah yang telah membunuh ayah Surati.
Dengan perasaan bersalah dan sedih, ia membawa Surati pergi ke istananya. Hari demi hari, Raden Banterang semakin jatuh hati pada Surati. Demikian halnya dengan Surati yang kemudian menerima lamaran Raden Banterang.
Mereka akhirnya menikah dan hidup bahagia di istana. Semua rakyat menyambut gembira pernikahan mereka karena sang putra mahkota mendapatkan istri yang sangat cantik dan berbudi perkerti luhur.
Sore hari, ketika Surati sedang berjalan-jalan di luar istana, ia bertemu dengan seorang laki-laki yang sangat dikenalnya. Laki-laki itu berpakaian compang-camping dan tubuhnya kotor tidak terurus.
"Kakak...," teriak Surati memeluk laki-laki itu. "Surati, adikku," jawab kakaknya. "Aku tidak percaya kakak masih hidup. Aku pikir keluarga kita sudah tidak ada lagi yang tersisa," kata Surati kembali dengan nada sedih.
"Syukurlah Dewata masih melindungiku, Dik. Tapi, aku benar-benar tidak menyangka bahwa kau menikah dengan orang yang telah membunuh ayah kita. Bagaimana jika kau membantuku untuk membalas dendam kematian ayah kita. Kau harus membunuh Raden Banterang, suamimu," seru kakak Surati.
"Maaf kak, aku tidak bisa. Raden Banterang, suamiku, sangat baik kepadaku. Dialah yang telah menolongku selama ini. Aku sangat mencintainya," jawab Surati.
Mendengar hal itu, kakak Surati pergi meninggalkan adiknya. Meskipun kecewa dengan jawaban sang adik, tapi ia tidak mampu berbuat apa-apa untuk memaksa adiknya memenuhi permintaannya.
Suatu hari, Raden Banterang pergi ke hutan melaksanakan kegemarannyab berburu. Ketika sedang mengejar kijang buruannya, tiba-tiba ia dihadang seorang pengemis yang berpakaian compang-camping. Pengemis itu kemudian menghampiri Raden Banterang.
"Maaf Raden, jika hamba yang hina ini mengganggu kesenangan Raden. Hamba hanya ingin mengingatkan agar berhati-hati," saran pengemis itu.
"Apa maksudmu?" tanya Raden Banterang.
"Tadi pagi, hamba melihat Tuan Putri Surati bercakap-cakap dengan kakak kandungnya. Mereka merencanakan untuk membunuh Raden sebagai balas dendam atas kematian ayahnya," kata pengemis itu lagi.
"Itu tidak mungkin. Jangan sembarangan bicara kau pengemis," ucap Raden Banterang marah.
"Maafkan hamba. Tapi jika Raden tidak percaya, silakan Raden lihat di bawah peraduan tuan putri, pasti ada sebuah keris pusaka," ucap pengemis meyakinkan.
Akhirnya, untuk memastikan kebenaran dari perkataan pengemis itu, Raden Banterang bergegas kembali ke istana. Ia segera masuk ke kamar Surati dengan perasaan yang masih emosi. Dilihatnya sebuah keris Kerajaan Klungkung berada di bawah peraduan istrinya. Hatinya hancur terbakar emosi. Ia segera mencari istrinya.
Ketika bertemu dengan Surati, Raden Banterang yang masih murka segera membawa istrinya ke tepi sungai. Raden Banterang menceritakan apa yang didengarnya dari seorang pengemis sewaktu berburu.
"Sekarang mengakulah! Inikah balasanmu kepadaku yang telah berbaik hati kepadamu?" desak Raden Banterang.
"Tidak Kanda. Jangankan untuk merencanakan pembunuhan, berpikir untuk mencelakaimu saja aku tidak sanggup. Aku bersumpah, Kanda," jawab Surati.
"Ah, sudahlah. Kau memang pintar berbohong. Sebelum kau berhasil membunuhku, aku akan membunuhmu terlebih dahulu," ucap Raden Banterang sambil menghunuskan kerisnya.
"Sebelum aku mati di tanganmu, lebih baik aku mati melompat ke sungai ini. Tapi Kanda harus ingat perkataanku, aku tidak pernah berniat jahat sedikit pun kepada Kanda! Jika aku berdusta, air sungai ini akan berbau busuk. Namun, jika perkataanku benar, air sungai ini akan berbau harum," kata Surati yang kemudian melompat ke sungai yang sangat dalam.
"Surati...!" teriak Raden Banterang.
Tidak berapa lama setelah Surati melompat ke sungai, dari air sungai itu tercium bau yang sangat harum. Mengetahui hal itu, betapa hancur hati Raden Banterang. Ia merasa bersalah kepada istrinya karena telah menuduh Surati berbuat jahat. Bersamaan dengan itu, muncullah seseorang yang dikenalnya. Orang itu adalah pengemis yang dijumpai oleh Raden Banterang sewaktu berburu di hutan.
"Maafkan kesalahanku Raden. Sebenarnya aku adalah kakak Surati dari Kerajaan Klungkung. Aku hanya ingin membalas dendam atas kematian ayahku. Tapi, perbuatanku menipumu justru malah mencelakakan adikku sendiri. Dia memang tidak bersalah. Terbukti air sungai itu berbau harum," jelas kakak Surati menyesal.
Air sungai yang berbau harum itu dinamakan Banyuwangi. Banyu berarti air, sedangkan wangi berarti harum. Kisah ini tetap abadi hingga sekarang. Kini, nama Banyuwangi dijadikan sebagai nama sebuah daerah yang berada di pinggir pantai Pulau Jawa.
Pesan Moral:
Balas dendam bukanlah sebuah penyelesaian suatu masalah. Balas dendam hanya akan menimbulkan masalah baru. Selain itu, menuduh orang haruslah berdasarkan bukti, fakta, dan memakai pikiran dan hati yang jernih. Jika tidak, akan menyebabkan kerugian bagi orang yang dituduh tersebut.
Baca Juga:
Buku Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara
Oleh: Sumbi Sambangsari
Penerbit: Wahyumedia