
Ranggong Daeng Romo lahir pada 1915 di Bone-Bone, Moncokomba, Polongbangkeng, Sulawesi Selatan. Beliau menempuh pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) atau sekolah Belanda untuk bumiputera, dan Taman Siswa di Makassar setelah sebelumnya menimba ilmu agama di salah satu pesantren di Cikoang.
Setelah menyelesaikan pendidikan, Ranggong Daeng Romo terlibat dalam pemerintahan sebagai Gallarang Moncokomba. Pada masa pendudukan tentara Jepang, Ranggong Daeng Romo bekerja pada perusahaan Jepang, Naniyo Kuhatsu Kabusuki Kaisha (NKKK), yaitu perusahaan pengepul beras milik militer Jepang di Takalar.
Setelah Indonesia merdeka, persisnya pada tanggal 16 Oktober 1945, Ranggong Daeng Romo memimpin angkatan Muda Bajeng, untuk membakar semangat para pemuda dalam melawan penjajahan tentara Nederlandsch Indie Civil Administratie (NICA, Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Atas persetujuan Karaeng Polongbangkeng Pajonga Daeng Ngalle, Ranggong Daeng Romo termasuk salah satu yang memprakarsai berdirinya organisasi perjuangan di Polongbangkeng, yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan Muda Bajeng (GMB).
Pada mulanya Ranggong Daeng Romo hanya diangkat sebagai komandan barisan pertahanan untuk wilayah Moncokomba dan merangkap sebagai Kepala Wilayah (Bone) Ko'Mara.
Kemudian pada 5 Desember 1945, ia diangkat menjadi Komandan Barisan Gerakan Muda Bajeng, yang kegiatannya tak hanya pada bidang kemiliteran, tetapi juga di bidang pemerintahan. Dalam usaha mempertahankan kemerdekaan, ia bersama Gerakan Muda Bajeng tak jarang mengalami bentrok senjata dengan pasukan kolonial Belanda. Dengan mengerahkan 100 pasukan Gerakan Muda Bajeng, ia menyerang pangkalan serdadu kolonial Belanda di Pappu, Takalar, pada 21 Februari 1946.
Pada 2 April 1946, GMB menjelma menjadi Laskar Lipan Bajeng, dan Ranggong Daeng Romo diangkat sebagai pimpinan. Pada 17 Juli 1946, terbentuklah secara resmi organisasi gabungan dari sembilan belas laskar perjuangan yang dikenal dengan nama "Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi" (LAPRIS), dan Ranggong Daeng Romo diangkat sebagai panglima (Ketua bidang ketentaraan/kemiliteran).
Pada 27 Februari 1947, dalam satu pertempuran di Bukit Lengkese, Ranggong Daeng Romo gugur dan dimakamkan di Bangkala. Pada 3 November 2001, berdasarkan Keppres No.109/TK/2001, pemerintah menobatkan Ranggong Daeng Romo sebagai pahlawan nasional.
Artikel Terkait: