
Sejak jaman Sultan Iskandar Muda (1607 -1636), burung Cempala Kuneng telah menjadi burung kebanggaan bagi masyarakat Aceh. Hal ini diketahui dari seringnya burung ini disebut dalam banyak hikayat di tanah rencong. Satwa ini dikenali dengan beberapa nama, seperti Cempala Kuneng atau Ceumpala Kuneng, Kucica Ekor-kuning, serta dalam bahasa Aceh sendiri terkadang disebut sebagai cicem pala kuneng.
Burung cempala kuning tergolong kepada keluarga burung pengicau dan sering disebut dengan nama Rufous-tailed Shama dalam bahasa inggris, sedangkan nama ilmiah burung ini sendiri adalah Trichixos pyrropygus (Lesson, 1839). Kicauannya berupa rangkaian panjang terdiri dari siulan merdu, nada tunggal dan ganda, "pi-uuu", meningkat dan menurun bergantian secara tidak tetap. Berkat kicauannya yang menarik itu, tak heran burung ini digemari masyarakat. Dan karena populernya satwa ini di provinsi paling barat di Indonesia itu, maka burung Cempala Kuneng kemudian dipilih sebagai fauna identitas Provinsi Aceh.
Burung cempala kuneng memiliki ukuran yang sedang, berkisar 21 cm, dan memiliki ekor yang panjang, sedangkan untuk warna bulu, burung ini memiliki warna bulu coklat keabuan tua mengkilap dengan ciri alis putih khas yang terbentuk di atas bagian mata. Paruh burung cempala kuneng berwarna hitam ramping serta tajam. Di bagian dada dan perut hingga pangkal ekor dan juga punggung burung ini memiliki warna kuning kemerahan.
Sedangkan pada bagian ujung ekor cempala kuneng terdapat warna hitam dengan pinggir putih dibagian bawah. Adapun bagi jenis burung betina cempala kuneng terlihat lebih coklat serta tidak memiliki alis putih diatas matanya. Burung remaja lebih coklat berbintik-bintik kuning merah karat.
Dalam beberapa hal, penampilan burung ini mirip dengan murai batu. Perbedaan utama terletak pada bulu ekor yang berwarna kuning. Karena itulah burung ini dinamakan kucica ekor kuning. Di mancanegara, selain memiliki nama resmi rufous-tailed shama, ada juga yang menyebutnya sebagai orange-tailed shama. Seperti misalnya di Malaysia, burung ini disebut sebagai murai ekor jingga.
Kucica ekor kuning sebenarnya bukan burung endemik di Aceh. Burung yang tidak memiliki subspesies/ras ini mempunyai wilayah persebaran mulai dari Thailand Selatan, wilayah barat Semenanjung Malaysia, serta Sumatera dan Kalimantan (termasuk Brunei, Sabah dan Serawak).
Burung Ceumpala Kuneng berkembang biak dengan cara ovovivipar atau bisa dibilang bertelur dan beranak. Jadi embrio burung ini berkembang di dalam telur, dan telur tetap berada di dalam tubuh induk sampai telur menetas. Setelah telur menetas, individu baru tersebut keluar dari tubuh induknya. Ciri khas binatang ovovivipar yaitu pada embrionya yang berkembang biak dan tumbuh di dalam telur, kemudian setelah cukup umur telur tersebut akan menetas anak hewan keluar dari tubuh induknya. Cadangan makanan yang diperoleh embrio berasal dari dalam telur tersebut, jadi bukan dari tubuh induknya.
Sangat disayangkan, keberadaan burung ini di habitatnya terancam akibat adanya perburuan liar dan pembalakan hutan. Dengan demikian, burung kucica ekor kuning di Sumatera saat ini hanya terdapat di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Akibatnya, burung kucica ekor kuning ini sudah menyandang status terancam punah. Oleh sebab itu, kucica ekor kuning tidak boleh diburu lagi untuk dijadikan hewan peliharan, tapi harus tetap dibiarkan hidup di alam liar atau untuk konservasi satwa langka.
Artikel Terkait: