
Haji Agus Salim lahir pada 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat, dengan nama Mashudul Haq. Ayahnya, Angku Sultan Mohammad, adalah seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau dan ibunya bernama Siti Zainab. Pendidikan dasar ditempuhnya di ELS. Europeesch Lagere School (ELS) merupakan sekolah dasar pada masa kolonial Hindia Belanda. Sekolah ini diperuntukkan bagi keturunan Belanda, Eropa, maupun rakyat Indonesia dari golongan terpandang.
Kemudian Agus Salim muda melanjutkan sekolah ke HBS (Hogere Burger School) di Batavia, dan menjadi lulusan terbaik se-Hindia Belanda. Seharusnya beliau mendapat beasiswa ke negeri Belanda. Sayangnya, beasiswa kedokteran yang diajukan Agus Salim ditolak pemerintah Belanda. RA Kartini mengusulkan agar beasiswa yang diterimanya sebesar 4.800 gulden diberikan kepada Agus Salim, namun juga tidak dikabulkan. HBS merupakan lanjutan tingkat pertama untuk orang Belanda, Eropa, Tionghoa, dan rakyat Indonesia yang terpandang. Masa studinya adalah 5 tahun dan menggunakan bahasa Belanda dalam proses belajar mengajar.
Kepandaian dalam menguasai sembilan bahasa asing dan berbagai pengetahuan politik serta hukum mengantarkannya menjadi seorang penerjemah dan notaris. Pada 1906-1911, Agus Salim bekerja pada Konsulat Belanda di Jeddah sebagai penerjemah dan pengurus urusan haji. Pada periode inilah, ia memperdalam agama Islam dengan berguru pada pamannya, Syeh Ahmad Khatib. Sepulang ke Tanah Air, ia sempat bekerja di dinas pekerjaan umum. Lalu sejak 1915 beliau lebih memilih terjun ke dunia jurnalistik. Di harian Neratja, Agus Salim menjabat sebagai Redaktur II, yang kemudian diangkat menjadi Ketua Redaktur. Beliau pernah memimpin harian Hindia Baroe di Jakarta, lalu mendirikan surat kabar bernama Fajar Asia.
Kegiatan di bidang politik dimulai Agus Salim pada 1915 dengan bergabung dalam Sarekat Islam (SI). Beliau bahkan menjadi pemimpin kedua di SI setelah Cokroaminoto. Pada 1921-1924, Agus Salim menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) mewakili Sarekat Islam. Meskipun seorang poliglot (menguasai sembilan bahasa asing), dia justru yang pertama kali berpidato dalam bahasa Melayu/Indonesia di sidang Volksraad.
Beliau kemudian menyelidiki anggota SI yang kemungkinan terlibat PKI. Ternyata banyak sekali anggota SI yang terlibat dalam organisasi PKI. Atas usul Ahmad Dahlan, Agus Salim melakukan tindakan tegas mengeluarkan anggota PKI dari SI. Beliau meminta agar diadakan disiplin partai dan mengganti nama Sarekat Islam menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada 1929.
Beliau laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia sehingga kerap kali dijuluki "The Grand Old Man" (Orang Tua Besar). Pada 1929 beliau juga diangkat menjadi penasehat teknis delegasi Serikat Buruh Negeri Belanda ke Konferensi Kaum Buruh Internasional di Jenewa, Swiss. Beliau berpidato menggunakan Bahasa Perancis dan berhasil membuat kagum delegasi peserta.
Menjelang kemerdekaan Indonesia, Agus Salim berperan aktif dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada masa kemerdekaan, beliau menjadi Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Sjahrir I dan II, kemudian menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta. Beliau dan beberapa tokoh lain berjasa dalam pengakuan kedaulatan dari negara-negara Timur Tengah. Pada waktu terjadi Agresi Militer Belanda II, Haji Agus Salim ikut tertangkap bersama Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta.
Pada 1950 sampai akhir hayatnya, Haji Agus Salim dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri. Haji Agus Salim wafat pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pada 27 Desember 1961, berdasarkan Keppres No. 657/TK/1961, pemerintah menetapkan Haji Agus Salim sebagai pahlawan nasional. Nama beliau diabadikan sebagai nama jalan dan stadion sepakbola di Padang.
Artikel Terkait: